Alkisah, sekitar tahun 1695, di Nemes, kota kecil di Prancis,
seorang perajin menenun sepotong kain yang sangat kuat. Kain itu dinamakan
“Serge de Nimes”. Orang-orang inggris yang membeli kain unik ini kemudian
menamakannya “denim”. Seratus lima puluh tahun kemudian, kain “denim” ini
member inspirasi kepada Levi Strauss. Kebetulan California sedang dilanda demam
emas. Levi Strauss yang saat itu berusia 24 tahun, kemudian membuat celana
berbahan jins. Pakaian yang awet untuk pekerja ditempat basah dan berlumpur itu
sangat dibutuhkan buruh tambang. Maka, lahirlah perusahaan pembuat celana jins,
Levi Strauss.
Nah, kalau Anda punta celana jins, maka dapat dipastikan ada
kantong kecil di saku sebelah kanan, yang disebut “the fifth pocket”. Sekarang
ini kantong kelima itu biasa kita gunakan untuk menyimpan uang receh. Tapi di
zaman demam emas dulu, disitulah para penambang mengantongi bongkahan emas yang
mereka temukan. Setelah itu jins menjadi ikon, anti fashion, anti budaya, dst.
Tahun 1960-an, jins menjadi pakaian seragam kaum hippies. Jins menjafi lambing
protes dan symbol segala kelusuhan. Ketika music rock merajalela pada 1970-an,
jins dianggap sebagai atribut sensual para rocker.
Calvin Klein tahun 1980
menciptakan jins ketat dengan Brooke Shields sebagai modelnya.
Billboardnya yang berslogan “Nothing comes between me and my Calvins”
menimbulkan kehebohan. Pada hari pertama penjualan di department store, ratusan
orang antre untuk mendapatkan jins itu. (Kafi Kurnia, kolom Gatra).
0 komentar:
Posting Komentar